Disebuah ladang yang terpencil, tinggallah sepasang suami yang sudah kakek dan nenek. Mereka tinggal dalam rumah kecil, hidup sederhana dari hasil ladangnya.
Karena usia sudah lanjut terbersit dari hati mereka untuk belajar mengaji serta memperdalam ilmu agama, agar kelak pabila meninggal nanti masuk surga. Karena waktu muda dahulu tidak ada kesempatan untuk itu dikarenakan harus bekerja keras untuk hidup. Usia lanjut sudah dekat dengan liang kubur akherat dan seramnya siksaan neraka yang di dengar dari obrolan oragng-orang lain
Maka timbullah percakapan di dapur,kakek berkata kapan kita mengaji nini, si nini menjawab sambil menyodorkan kayu bakar “ya memang sudah nasib kita barangkali, buta soal agama usia sudah lanjut .sudah waktunya kita belajar mengaji?”
Jadi kapan kita berangkat mengaji ni kata kakek, iya apakah kita berdua akan pergi kalau begitu siapa yang mengurus ladang.mereka terdiam sejenak sambil memandangi jilatan api di tunggu dapur yang menyebabkan air yang di masak mendidih. Kalau begitu aku saja yang pergi mengaji engkau yang tinggal di sini. Kata kakek. Pintar kau. Ya kau belajar mengaji mau masuk surga sendiri dan mendaparkan bidadari 40, sedangkan aku di tinggalkan sendiri di sini bakal jadi umpan neraka. Tidak mau !tidak mau ! tidak mau ! kata nini. Betul juga keluh kakek, ya kalau begitu kau saja yang pergi ni, aku disini saja. jika kau pergi dan sudah pandaikan bisa mengajariku nanti. Itu sama saja kau mengusir aku, teganya kau, masa aku pergi sendiri.
Ketka itu terdengar di luar ada orang yang beruluk salam, assalamualaikum ! walaikumsalam sahut kakek silahkan masuk. Masuklah tamu beberapa orang anak muda di silahkan duduk dan di ajak mengobral oleh si kakek ternyata anak muda itu para santri yang kemalaman. Tau tamunya para santri maka si kakek menyuruh nini untuk menyuguhkan makanan dan minuman. Si kakek dan nini senang hatinya karena tamu para santri. padahal mereka dari tadi mempermasalahkan untuk mengaji datangnya tamu ini bias memecahkan masalahnya, pikir mereka.
Si tamu merasa heran melihat olah si empunya rumah begitu senang kedatangan tamu bukankah kami akan menyusahkan mereka gumam mereka. setelah semua suguhan di makan dan minum kakek menanyakan perihal bahwa ia ingin bejar mengaji kepada tamunya buat apa belajar mengaji bukankah sudah terlambat ?. itulah nak! Sahut kakaek kami sudah tua sedangkan ketika masih kecil kami tidak pernah sempat belajar mengaji di pasentren. Sekarang sudah tua, sebentar lagi akan masuk liang lahat………..ya , tetapi mengapa ingin belajar mengaji ? kami takut masuk neraka, kami ingin masuk surga. Mendenger keterangan itu, para tamu terbahak-bahak. Ubi dan air kopi yang berada dalam mulut seperti ingin tersembur keluar. salah seorang di antara santri, terkenal di antara kawan-kawannya sebagai anak yang paling nakal, berkata setelah agak reda tertawa. Kalau hanya mau masuk surga, buat apa belajar mengaji, kek ? habis bagaimana, nak ? sahut si kakek yang keheranan melihat tamunya tertawa seolah-olah ada yang lucu. Santri paling nakal berkata, di [inggir ladang bukankah ada rumpun bambuyang menjulang tinggi kea rah langit ? si kakek dan nini menjawab berbareng., memang benar. Itulah jalan ke surga kalau mau ke sana panjatlah bambu itu sampai ke pucuknya. Pucuknya itu tepat sampai pada tangga surga ! Si kakek ya allah tak kusangka rumpun bamboo itu bukan bamboo sembarangan ! nini, dasar kita buta ? berpuluh-puluh tahun kita tinggal di sini, tetapi tak kita ketahui.
Ayo jangan buang waktu lagi. Bagaimana kalau kita berangkat sekarang saja ? ya mari sahut istrinya dengan gembira. Kedua suami istri yang sudah renta itu tanpa menghiraukan apa-apa lagi, segera keluar dari rumah menuju rumpun bamboo yang di tunjukan oleh tamunya. Di dahului si kakek kemudian nini dan di iringi oleh para tamu yang sambil tertawa terbahak-bahak lantaran gembira bisa mempermainkan pribumi. tidak menoleh ke kiri ke kanan, si kakek dan nini memanjat bamboo yang tinggi itu dengan bersusah payah akhirnya mereka berhasil juga memanjat bamboo yang licin itu. Ketika hamper pucuknya para santri berteriak-teriak dari bawah, ladang mu di makan burung, si kakek nini tidak menoleh hanya terdengar jawabnya, biarla sudah untungnya burung-burung itu.
Sementara itu mereka memanjat makin tinggi juga karena berat tubuh mereka pucuk bambu merunduk seperti mau patah. Meliuk-liuk tertiup angina. Tetapi keduanya tak hiraukan tetap hati untuk panjat terus sampai pucuknya. Angina tiba-tiba bertiup sangat kencang, mereka terombang ambing hampir jatuh. Waktu angin sudah reda meraka lenyap entah kemana tidak ada lagi.
Para santri itu heran dan saling berpandangan satu sama lain. Santri yang paling nakal berkata kepada teman-temannya, lihatlah ! rupanya rumpun bambu itu benar-benar merupakan jalan ke tangga surga. Mereka lenyap ! akupun turut mereka ke sana.kalau tahu jalan ke surga buat apa hidup lama-lama di dunia. Akupun turut ikut kata teman yang seorang mereka berlari menuju rumpun bambu. Melihat mereka berdua berlari menuju rumpun bambu yang lain mengikuti juga. berebut memanjat bambu. takkala sudah tinggi angin datang bertiup. pucuk bambu meliuk-liuk para santri berpegangan erat-erat pada batang bambu. ngeri akan jatuh berkejab-kejab bibirnya bergerak-gerak. di seluruh tubuhnya tumbuh bulu. Mereka berteriak-teriak, tetapi yang terdengar bukanlah suara manusia tapi mereka semua menjadi monyet, lalu turun ke ladang merajah palawija.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar